Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia menunda penerapan kebijakan co-payment asuransi kesehatan yang seharusnya berlaku mulai 1 Januari 2026. Kebijakan ini mewajibkan nasabah asuransi kesehatan membayar 10% dari total klaim biaya pengobatan, dengan batas maksimum Rp300 ribu untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap per klaim.
Penundaan ini terjadi setelah Komisi XI DPR RI memanggil OJK untuk membahas kebijakan tersebut karena banyaknya pertanyaan dan keberatan dari masyarakat. Implementasi kebijakan ditunda hingga Peraturan OJK (POJK) terkait kebijakan ini diteken, dan OJK perlu melakukan meaningful participation untuk menyerap aspirasi pihak berkepentingan.
Sebelumnya kebijakan co-payment ini hanya berlaku untuk asuransi kesehatan komersial dan tidak berlaku untuk BPJS Kesehatan. OJK menyatakan tujuan kebijakan ini adalah menekan premi agar lebih terjangkau.
Penundaan ini menunjukkan respons terhadap kekhawatiran yang ada di masyarakat luas. Kebijakan co-payment yang tergesa-gesa dapat memberatkan, terutama jika tidak siap secara finansial untuk menanggung sebagian biaya pengobatan. Penundaan memberi waktu bagi OJK untuk menyempurnakan aturan agar lebih adil dan transparan.
Permintaan DPR agar OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) alih-alih Surat Edaran (SE) menunjukkan penekanan pada perlunya landasan hukum yang lebih kuat dan formal untuk kebijakan sebesar ini. POJK memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dan melalui proses pembahasan yang lebih rigid, memastikan kebijakan lebih matang dan sulit digugat di kemudian hari.
Meskipun ditunda, kebijakan co-payment kemungkinan besar akan tetap diimplementasikan di masa depan setelah POJK diterbitkan. Kita sebagai masyarakat perlu bersiap akan kemungkinan adanya biaya tambahan dalam klaim asuransi kesehatan di kemudian hari.
